Rahasia Bank
A.PENGERTIAN
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya (Pasal 1 angka 28 UU No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan).
Yang dimaksud dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya meliputi segala keterangan tentang orang dan badan yang memperoleh pemberian layanan dan jasa dalam lalu lintas uang, baik dalam maupun luar negeri, meliputi :
1.Jumlah kredit;
2.Jumlah dan jenis rekening nasabah (Simpanan Giro, Deposito, Tabanas, Sertifikat, dan surat berharga lainnya);
3.Pemindahan (transfer) uang;
4.Pemberian garansi bank;
5.Pendiskontoan surat-surat berharga; dan
6.Pemberian kredit.
Rahasia bank diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut ketentuan pasal tersebut :
Ayat (1)
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
Ayat (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi pihak terafiliasi.
Berdasarkan ketentuan diatas, jelas bahwa yang wajib dirahasiakan oleh pihak Bank/Pihak terafiliasi hanya keterangan mengenai nasabah Penyimpan dan simpanannya. Apabila Nasabah Bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah debitur, bank tetap wajib merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Artinya jika nasabah itu hanya berkedudukan sebagai nasabah debitur maka keterangan tentang nasabah debitur dan hutangnya tidak wajid dirahasiakan oleh bank/pihak terafiliasi. Dengan demikian, lingkup rahasia bank hanya meliputi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, keterangan selain itu bukan rahasia bank.
Yang dimaksud Nasabah Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank dalam bentuk simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan nasabah yang bersangkutan (Pasal 1 angka (17) UU No.10 Tahun 1998).
Sedangkan yang dimaksud dengan Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu (Pasal 1 angka (5) UU No.10 Tahun 1998).
B.SIFAT RAHASIA BANK
Mengenai sifat Rahasia Bank, ada dua teori yang dapat dikemukakan, yaitu:
1.Teori Mutlak (Absolute Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat mutlak. Semua keterangan mengenai nasabah dan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan tanpa pengecualian dan pembatasan. Dengan alasan apapun dan oleh siapapun kerahasiaan mengenai nasabah dan keuangannya tidak boleh dibuka (diungkapkan). Apabila terjadi pelanggaran terhadap kerahasiaan tersebut, Bank yang bersangkutan harus bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkannya.
Keberatan terhadap teori mutlak ini adalah terlalu individualis, artinya hanya mementingkan hak individu (perseorangan). Disamping itu, teori ini juga bertentangan dengan kepentingan umum, artinya kepentingan Negara atau masyarakat banyak dikesampingkan oleh kepentingan individu yang merugikan Negara atau masyarakat banyak. Dengan kata lain menurut teori ini,sifat mutlak rahasia bank sangat sukar untuk ditterobos dengan alasan apapun dan oleh hukum dan undang-undang sekalipun. Teori mutlak ini banyak dianut oleh bank-bank yang ada di Negara Swiss.
2.Teori Relatif (Relative Theory)
Menurut teori ini, Rahasia Bank bersifat relative (terbatas). Semua keterangan mengenai nasabahdan keuangannya yang tercatat di bank wajib dirahasiakan. Namun bila ada alasan yang dapat dibenarkan oleh undang-undang, Rahasia Bank mengenai keuangan nasabah yang bersangkutan boleh dibuka (diungkapkan) kepada pejabat yang berwenang.
Keberatan terhadap teori ini adalah rahasia bank masih dapat dijadikan perlindungan bagi pemilik dana yang tidak halal, yang kebetulan tidak terjangkau oleh aparat penegak hukum karena tidak terkena penyidikan. Dengan demikian dananya tetap aman.
Namun teori relative ini sesuai dengan rasa keadilan (sense of justice), artinya kepentingan Negara atau kepentingan masyarakat banyak tidak dikesampingkan begitu saja. Apabila ada alasan yang sesuai dengan prosedur hukum maka rahasia keuangan nasabah boleh dibuka (diungkapkan). Dengan demikian teori relative ini melindungi kepentingan semua pihak, baik individu, masyarakat maupun Negara. Teori ini di anut oleh bank-bank yang ada di Negara Amerika Serikat, Belanda, Malaysia, Singapura dan Indonesia. Di Indonesia teori relative ini diatur dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.
C.PENGECUALIAN RAHASIA BANK
Dalam Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan bahwa :
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.
Kata “kecuali” diartikan sebagai pembatasan terhadap berlakunya Rahasia Bank. Mengenai keterangan yang disebut dalam pasal-pasal tadi Bank tidak boleh merahasiakannya (boleh mengungkapkannya) dalam hal sebagai berikut :
1.Untuk Kepentingan Perpajakan
Dalam Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan ditentukan :
“Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak”.
Untuk pembukaan (pengungkapan Rahasia Bank, Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menetapkan unsur-unsur yang wajib dipenuhi sebagai berikut :
a.Pembukaan Rahasia Bank itu untuk kepentingan perpajakan.
b.Pembukaan Rahasia Bank itu atas permintaan tertulis Menteri keuangan.
c.Pembukaan Rahasia Bank itu atas perintah tertulis Pimpinan Bank Indonesia.
d.Pembukaan Rahasia Bank ittu dilakukan oleh Bank dengan memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan yang namanya disebutkan dalam permintaan Menteri Keuangan.
e.Keterangan dengan bukti-bukti tertulis mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tersebut diberikan kepada pejabat pajak yang namanya disebutkan dalam perintah tertulis Pimpinaan Bank Indonesia.
2.Untuk Kepentingan Penyelesaian Piutang Bank
Penyelesaian piutang Bank diatur dalam Dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izin kepada pejabat Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan Nasabah Debitur.
b.Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara.
c.Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan Badan Urusan Piutang Negara dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, nama Nasabah Debitur yang bersangkutan dan alasan diperlukannya keterangan.
3.Untuk kepentingan Peradilan Pidana
Kepentingan peradilan Dalam Pasal 41A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada Bank.
b.Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, atau Ketua Mahkamah agung.
c.Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan polisi, jaksan atau hakim, nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya keterangan dan hubungan perkara pidana yang bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.
4.Untuk kepentingan peradilan Perdata
Menurut ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 :
“Dalam perkara perdata antara Bank dengan nasabahnya, direksi Bank bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memnerikan keterangan lainnya yang relevan dengan perkara tersebut”.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa informasi mengenai keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dapat diberikan oleh Bank kepada pengadilan tanpa izin Menteri. Karena pasal ini tidak diubah oleh Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, maka penjelasannya perlu disesuiakan, yang memberi izin adalah Pimpinan Bank Indonesia.
5.Untuk keperluan Tukar-Menukar Informasi antar Bank
Tukar-menukar informasi antar Bank diatur Dalam Pasal 44 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
Ayat (1)
“Dalam rangka tukar-menukar informasi antar Bank, direksi Bank dapat memberitahkan keadaan keuangan nasabahnya kepada Bank lain”.
Dalam Penjelasannya dinyatakan :
“Tukar-menukar informasi antarbank dimaksudkan untuk memperlancar dan mengamankan kegiatan usaha Bank antara lain guna mencegah kredit rangkap serta mengetahui keadaan dan status dari bank yang lain. Dengan demikian, Bank dapat menilai tingkat risiko yang dihadapi sebelum melakukan suatu transaksi dengan nasabah atau dengan Bank lain”.
Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi antarbank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Bank Indonesia ayat (2). Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa dalam ketentuan yang akan ditetapkan lebih lanjut oleh Bank Indonesia antara lain diatur mengenai tata cara penyampaian dan permintaan infprmasi serta bentuk dan jenis informasi tertentu yang dapat dipertukarkan, seperti indicator secara garis besar dari kredit yang diterima nasabah, agunan dan masuk tidaknya debitur yang bersangkutan dalam daftar kredit macet.
6.Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah,
Pemberian keterangan atas persetujuan nasabah penyimpan diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
a.Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, Bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah Penyimpan pada Bank yang bersangkutan kepada pihak yang tunjuk oleh Nasabah Penyimpan tersebut.
b.Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari nasabah penyimpan yag bersangkutan yang berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 44A ayat (1), Bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan kepada pihak yang ditunjuknya, asal ada permintaan, atau persetujuan atau kuasa tertulis dari nasabah penyimpan yang bersangkutan, misalnya kepada penasehat hukum yang menangani perkara nasabah penyimpan. Sedangkan dalam ayat (2) ahli waris yang sah berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan bila nasabah penyimpan yang bersangkutan telah meninggal dunia. Untuk memperoleh keterangan, ahli waris harus membuktikan sebagai ahli waris yang sah.
D.PELANGGARAN RAHASIA BANK
Pelanggaran Rahasia Bank adalah perbuatan memberikan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, secara melawan hukum (bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan) atau tanpa persetujuan Nasabah Penyimpan yang bersangkutan. Pelanggaran Rahasia Bank dapat dilakukan karena paksaan pihak ketiga atau karena kesengajaan anggota Dewan Komisaris, Direksi, Pegawai Bank, atau Pihak terafiliasi lainnya.
1.Paksaan Pihak Ketiga
Paksaan Pihak ketiga diatur dalam Pasal 44A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal tersebut ditentukan sebagai berikut:
“Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta dendan sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah)’.
Ancaman hukuman tersebut mulai dari yang paling rendah sampai kepada yang paling tinggi. Dengan demikian, apabila terbukti bahwa pihak ketiga itu secara melawan hukum telah melakukan pemaksaan agar nasabah penyimpan dan simpanannya, dia tidak akan luput dari hukuman, setidak-tidaknya hukuman pidana dan denda minimum, yang lama dan jumlahnya sudah ditetapkan oleh undang-undang.
2.Kesengajaan Pihak Bank atau Pihak Terafiliasi
Kesengajaan pihak Bank dilakukan oleh Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa :
“Anggota Dewan Komisaris, direksi, Pegawai Bank, atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah)”.
Dalam penjelasan pasal diatas dinyatakan bahwa yangh dimkasud dengan Pegawai Bank adalah semua pejabat dan karyawan Bank. Pihak Terafiliasi sebagaimana disebutkan dalam pasal diatas, diatas, menurut Pasal 1 angka (22) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 adalah:
a.Anggota Dewan Komisaris, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan Bank;
b.Anggota pengurus, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau karyawan Bank. Khusus bagi Bank berbentuk hukum Koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.Pihak yang memberikan jasanya kepada Bank, antara lain akunta public, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d.Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan Bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, dan keluarga pengurus.
E.KELEMAHAN RAHASIA BANK
Simpanan Nasabah Penyimpan adalah sumber dana bagi Bank. Oleh karena itu, wajar jika undang-undang mengatur agar Bank melindungi nasabahnya, tetapi disis lain tentu ada juga Nasabah Penyimpan yang berstatus debitur beritikad jahat (bad faith), dengan berlindung di balik Rahasia Bank melakukan perbuatan tercela terhadap mitra bisnisnya, misalnya membayar dengan cek atau bilyet giro kosong. Mitra bisnis yang menerima cek atau bilyet giro kosong tersebut sudah tentu tidak mungkin mengetahui saldo simpanan Nasabah Penyimpan yang berstatus debitur itu karena dilindungi oleh Rahasia Bank. Hal semacam ini tentu akan mempengaruhi citra kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Oleh karena itu menghadapi Nasabah Penyimpan yang beritikad jahad, Bank tidak perlu ragu melakukan tindakan black list dan kepada Bank Indonesia selaku pengawas dan Pembina perbankan. Penegakan hukum yang tegas justru meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Bank. (Abdulkadir Muhammad, “Segi Hukum Lembaga Keuangan dan Pembiayaan”, Penerbit: PT. citra adtya bakti, Bandung, 2004, halaman 75-85).
0 komentar:
Posting Komentar