MAJEMUK DESTRUKTIF
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, destruktif berarti merusak, menghancurkan, dan
memusnahkan. Indonesia adalah sebuah
masyarakat majemuk (plural society), yaitu sebuah masyarakat negara
yang terdiri atas lebih dari 500 sukubangsa (ethnik) yang dipersatukan oleh
sistem nasional dalam wadah sebuah negara kesatuan Indonesia. Jika corak
masyarakat majemuk Indonesia yang ditandai penekanannya pada kesukubangsaan dan
kelompok-kelompok sukubangsa yang beranekaragam kebudayaannya ini tidak
dikelola secara tepat, maka akan mudah melahirkan potensi-potensi destruktif,
di antaranya: (a) masyarakat majemuk yang menghasilkan batas-batas suku bangsa yang didasari
oleh stereotipe dan prasangka negatif. Jika ini dibiarkan tanpa arah bangunan
ke-Indonesia-an yang jelas, bisa memicu munculnya stigma sosial dan
pengambinghitaman antarsukubangsa; (b) Pada gilirannya, kondisi seperti itu
akan dengan mudah melahirkan
cara pandang perbedaan secara diskriminatif
antarsukubangsa itu sendiri. Cara pandang diskriminatif ini tercermin antara
lain pada pembedaan warga (suku) asli versus pendatang disertai dengan sikap
merendahkan dan kebencian, seperti kasus konflik Sambas, Ambon, Kalimantan
Tengah, dsb; dan (c) kondisi yang demikian itu akan semakin dikukuhkan ketika
ada kepentingan yang lebih luas, misalnya kepentingan politik kekuasaan dan
perebutan sumber-sumber daya alam. Dalam hal ini, perbedaan dan sikap serta
tindakan membeda-bedakan, dimanfaatkan untuk kepentingan individu atau kelompok
dengan mengabaikan kepentingan yang lebih luas yaitu kesatuan dan persatuan
Indonesia.
Pada era pemerintahan Presiden Sukarno misalnya, fenomena seperti di atas
dicoba diselesaikan dengan melarang kesukubangsaan sebagai potensi kekuatan politik,
guna keutuhan bangsa Indonesia dan memenangkan semangat nasionalisme. Kebijakan
politik kesukubangsaan waktu itu – adalah politik amalgasi atau peleburan
sukubangsa-sukubangsa menjadi sebuah bangsa yaitu Indonesia, melalui perkawinan
antarwarga sukubangsa yang berbeda-beda. Kemudian pada era pemerintahan
Suharto, tidak hanya kebijakan pelarangan penggunaan sukubangsa sebagai acuan
kepentingan politik, tetapi juga pelarangan potensi politik dari agama dan ras
sebagaimana konsep SARA. Rupanya, pelarangan yang dilakukan secara represif
dengan menggunakan kekuatan militer secara otoriter, ternyata hanya meredam
berbagai gejolak sosial yang bersifat semu. Begitu pula kebijakan
”penyeragaman” corak pemerintahan pada tingkat pedesaan yang secara tradisional
bercorak semi-otonomi menjadi bercorak seperti pemerintahan desa Jawa yang
dikuasai dan dikendalikan oleh pemerintah yang dilakukan oleh Ditjen PUOD,
justru berakibat kepada lemah dan melemahnya kekuatan kearifan lokal (local
wisdom) sebagai acuan masyarakat untuk dapat mengatur lingkungan
sosialnya. Ini berarti bahwa desain untuk membangun masyarakat madani (bercorak
demokratis dan multikulturalistik) telah mengalami kegagalan.
Mendesain ulang masyarakat plural yang monokultural ke dalam masyarakat
multikultural yang berpandangan multikulturalisme, karenanya menjadi tuntutan yang
mendesak.
Pendekatan Culture Fertilization
Inti dari apa yang disebut kebudayaan ialah ”cara hidup masyarakat, baik
masyarakat dalam artian sempit seperti masyarakat-masyarakat tertentu yang
dibatasi oleh kesatuan wilayah atau etnisitas, tetapi juga masyarakat dalam
arti luas seperti masyarakat
bangsa. Cara hidup tadi terinternalisasi dan tersosialisasi secara
berkelanjutan sehingga membentuk pandangan dan pengetahuan, keyakinan dan
anggapan-anggapan, yang keseluruhannya itu menjadi dan dijadikan model
Indonesiaakan dan hasil Indonesiaakan. Pada masing-masing masyarakat tadi,
dalam batas-batas tertentu memiliki perbedaan sekaligus persamaan dengan masyarakat
di luarnya. Perbedaan-perbedaan yang menjadi khas dari masing-masing masyarakat
yang bersangkutan – jika diakumulasikan – menjadi masyarakat yang
multikultural, dan karena itu ia memiliki potensi-potensi yang bisa bercorak
negatif, tetapi juga sebaliknya menjadi potensi positif.
Dilihat dari
isi (substansi: pengetahuan dan keyakinan) maupun ekspresi (Indonesiaakan dan
keputusan), setiap kebudayaan itu dinamik. Karena itu, dilihat dari dimensi
ruang dan waktu, kebudayaan-kebudayaan masyarakat itu dapat dipilah ke dalam
tiga corak, yaitu (1) kebudayaan yang sudah terbentuk/membentuk; (2) kebudayaan
yang sedang membentuk; dan (3) kebudayaan yang direncanakan untuk dibentuk.
Dalam konteks Indonesia, kebudayaan-kebudayaan sukubangsa yang sudah
membentuk itu, seharusnya dijadikan ”acuan awal” untuk memahami potensi-potensi
yang bisa menyumbangkan kepada konsep kebudayaan dewasa ini (sedang membentuk)
dan kebudayaan Indonesia dalam rancangan ke depan, baik dalam level masyarakat
Indonesia sendiri maupun dalam kaitannya dengan pergaulan dan persinggungan
dengan kebudayaan-kebudayaan global.
Upaya-upaya untuk mencapai idealitas yang tak tercabut dari akar-akar kebudayaan kesukubangsaan, salahsatunya ialah dengan
pendekatan culture fertilization. Makna culture fertililization sebagai
pendekatan di sini ialah mendesain perbedaan-perbedaan budaya (sebagaimana
masyarakat Indonesia) sebagai potensi (anugerah/maslahat) bukan sebagai
kerugian (madharat), dengan cara memadukan, meramu, dan mengembangkannya
sesuai dengan tuntutan dan perubahan sosial, sehingga menjadikan kekuatan dan
penguatan ke-Indonesia-an. Cara yang bisa ditempuh ialah melalui penerimaaan
dan penghormatan perbedaan itu sendiri dalam satu sisi, dan mencari titik temu
kesamaan sebagai identitas keIndonesiaonesiaan dalam sisi yang lain. Kedua hal
itu, menjadi prasyarat dari suatu wujud masyarakat madani yang ciri-cirinya
antara lain demokratisasi. Masyarakat demokratis adalah masyarakat yang dalam
ciri-ciri kulturalnya menunjukkan bahwa warganya memiliki kesadaran terhadap
keberagaman dan karena itu cara hidup yang dinilai beradab ialah menghargai
perbedaan itu sendiri sekaligus mengupayakan mencari titik temu yang
memungkinkan guna kepentingan yang lebih luas. Kesadaran dan penghargaan atas
perbedaan demikian, baru memungkinkan kalau didukung oleh faktor-faktor lain
seperti keteraturan hukum, keadilan sosial ekonomi dan politik, dan sebagainya.
Dengan kata lain, proses-proses menuju ke sana tidak lalu berarti tanpa
memunculkan konflik, tetapi konflik yang terjadi dalam proses menurut prinsip
demokrasi harus mengikuti hukum atau aturan main yang adil dan beradab.
Ketaatan atau kepatuhan pada hukum yang berlaku, adalah salah satu syarat
mutlak bagi berlakunya demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya
ketaatan pada hukum, maka yang ada adalah kerumunan dan kekacauan, di mana
masing-masing pihak atau kekuatan berlaku semena-mena. Jadi melalui hukum
inilah kebudayaan dan peradaban seperti halnya perikemanusiaan, termasuk
terwujudnya kesetaraan derajat Indonesiaividu demi kesejahteraan bersama, dapat
ditegakkan.
Dalam
masyarakat multikultural seperti Indonesia, paradigma hubungan dialogal atau
pemahaman timbal balik sangat dibutuhkan, untuk mengatasi ekses-ekses negatif
dari suatu problem disintegrasi bangsa. Paradigma hubungan timbal balik dalam
masyarakat multikultural mensyaratkan tiga kompetensi normatif, yaitu
kompetensi kebudaya, kemasyarakatan dan kepribadian. Kompetensi kebudaya adalah
kumpulan pengetahuan yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam
tIndonesiaakan komunikatif membuat interpretasi-interpretasi yang dapat
mengkondisikan tercapainya konsesus mengenai sesuatu. Kompetensi kemasyarakatan
mrp tatanan2 sah yang memungkinkan mereka yang terlibat dalam tIndonesiaakan
komunikatif membentuk solidaritas sejati. Kompetensi kepribadian adalah
kompetensi yang memungkinkan seorang subjek dapat berbicara dan bertIndonesiaak
dan karenanya mampu berpartisipasi dalam proses pemahaman timbal balik sesuai
konteks tertentu dan mampu memelihara jati dirinya sendiri dalam berbagai
perubahan interaksi.
Daftar Rujukan
http://staff.undip.ac.id/sastra/mudjahirin/2012/04/23/multikulturalisme-di-indonesia/
0 komentar:
Posting Komentar